Rabu, 19 Maret 2008

Para pembicara Rakernas MAI "Strategi Pembangunan Nasional, Akuakultur yang Ramah Lingkungan Berbasis Food Safety, di Departemen Kelautan dan Perikanan, Rabu (19/3/08). Dari kiri, Dr Ir Fatuchri MS, Penasehat Masyarakat Akuakultur Indonesia, Ir Arifin Lambaga, Presdir PT Mutuagung Lestari, Haryono Djanoko, Presdir PT CPB, Dr Ir Made L Nurdjana, Dirjen Budidaya/Penasehat MAI, dan Ketua MAI Dr Ir HM Yusuf Faishal MSc MBA (DPR-RI).

Jumpa Pers

Jumpa Pers: Arifin Lambaga memberikan keterangan kepada awak media terkait pentingnya sertifikasi produk RSPO, di Kantor Pusat PT Mutuagung Lestari (19/2/08).

Urgensi Sertifikasi Produk Sawit Indonesia *)


Oleh Arifin Lambaga

(Presiden Direktur PT Mutuagung Lestari)

Kini, perhatian dan kepedulian masyarakat dunia terhadap pentingnya setiap operasional kegiatan berwawasan lingkungan dan lestari semakin meningkat. Tak hanya dilakukan melalui Konferensi Perubahan Iklim di Bali 2007 baru lalu, melainkan juga sejak dilangsungkannya KTT Bumi di Rio de Janeiro pada 1992 silam. Salah satunya adalah perhatian terhadap kelestarian hutan terutama dikaitkan dengan perubahan iklim yang dampaknya terhadap kehidupan manusia kian nyata. Kondisi demikian, belakangan meluas dalam ruang lingkup perkebunan dan produk sawit.

Perhatian itu dibuktikan melalui pertemuan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di Kuala Lumpur, Malaysia, akhir November 2007 lalu. Lebih dari 500 peserta dari berbagai negara telah menyampaikan perhatiannya terhadap pentingnya Sustainable Palm Oil (SPO). Di antaranya dengan menyajikan uji coba penerapan Standar SPO (Principles and Criteria for Sustainable Palm Oil Production) di areal perkebunan kelapa sawit (dalam studi kasus).

Namun di Indonesia – menempati posisi kedua dunia sebagai penghasil kelapa sawit setelah Malaysia – hingga saat ini belum memiliki areal perkebunan kelapa sawit yang telah disertifikasi dengan menggunakan standar SPO. Padahal, penerapan sertifikasi hutan yang telah lebih dulu diterapkan di Indonesia dapat dijadikan referensi penerapkan standar prinsip dan kriteria produksi minyak sawit berkelanjutan. Pasalnya, sangat boleh jadi areal perkebunan sawit sebelumnya merupakan lahan areal berhutan.

Produk berkelanjutan

Pertemuan RSPO tersebut juga membahas isu yang mengarahkan tudingan greenwash kepada para pebisnis yang dinilai lebih mementingkan efek positif pencitraan kepedulian lingkungan daripada kinerja pengelolaan lingkungan yang sesungguhnya. Industri sawit dunia pun dituding turut berkontribusi terhadap pemanasan global, menyusul tudingan sebelumnya yaitu perusakan hutan dan lingkungan.

Tantangan inilah yang kedepan seharusnya disikapi serius oleh para pelaku industri sawit di Indonesia, yaitu dengan pelaksanaan program sertifikasi berdasarkan prinsip RSPO. Hanya melalui program sertifikasi inilah mereka dapat menerapkan prinsip yang tepat untuk membuktikan bahwa komitmen terhadap masyarakat dan lingkungan sejalan dengan tujuan mendapatkan profit.

Dan, kini saatnya para pelaku industri sawit memandang RSPO sebagai alternatif solusi dan menjadikannya sebagai sarana guna meningkatkan akuntabilitas dan transparansi. Artinya, pengelolaan sawit yang berkelanjutan harus dilakukan oleh seluruh pihak yang terkait. Penerapan praktek terbaik dalam beroperasi dengan mematuhi peraturan yang berlaku, memelihara lingkungan dan bermanfaat sosial bagi masyarakat serta menguntungkan secara ekonomis sehingga dapat memastikan keberlanjutan usahanya.

Jika diperhatikan, dasar dan kriteria cara berproduksi minyak kelapa sawit berkelanjutan (Principles and Criteria for Sustainable Palm Oil Production) meliputi komitmen pada keterbukaan, pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang berlaku, komiten pada pertumbuhan ekonomi dan finansial yang berkelanjutan, penggunaan praktek terbaik (best practices) yang sesuai oleh pekebun dan pengolah, tanggung jawab terhadap lingkungan dan konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, dan lain-lain.

Karena itu, persyaratan proses sertifikasi RSPO meliputi kompetensi team assessment, proses sertifikasi (definisi Unit Sertifikasi, aturan organisasi yang lebih dari satu unit sertifikasi, definisi ketidaksesuaian, periode sertifikasi, surveillance dan persyaratan sampling), pengumpulan bukti dari para pihak (stakeholders), dan dokumentasi yang bersifat publik (sertifikat dan ringkasan laporan sertifikasi). Termasuk juga, bebas konflik kepentingan, mekanisme keluhan (complaint) dan perselisihan, serta pengendalian pernyataan (claim).

Pada prinsipnya, terdapat kesamaan proses sertifikasi RSPO dengan proses sertifikasi hutan lestari. Sertifikasi hutan lestari yang berkembang di Indonesia adalah sertifikasi hutan yang dikembangkan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Forest Stewardship Council (FSC). Secara garis besar, yakni dilakukan oleh lembaga sertifikasi (audit) independen, mandiri, dan terakreditasi, memiliki tiga aspek penilaian: ekonomi, ekologi, dan sosial. Selain itu, juga tinjauan dokumen dan/atau kunjungan pendahuluan, konsultasi publik, penilaian lapangan (pengumpulan fakta), pelaporan, pengambilan keputusan, dan penyelesaian keberatan (dispute resolution).

Meski demikian, pelaksanaan sertifikasi hutan di Indonesia masih menghadapi kendala umum, seperti kesiapan unit manajemen hutan untuk dinilai (misal, pengelolaan biodiversity), sosialisasi standar pengelolaan hutan lestari (stakeholders), kondisi sosial dan ekonomi akibat ekonomi rendah, dan tingkat kesadaran hukum (status lahan, tata batas, hak masyarakat adat, konflik sosial). Selain juga, sistem manajemen berorientasi produksi (profit), dukungan pemerintah terhadap pelaksanaan implementasi sertifikasi kepada Unit Manajemen Hutan, pelaksanaan otonomi daerah, dan opini publik (Indonesia termasuk resiko tinggi Illegal Logging).

Solusi terhadap kondisi ini adalah perlunya dilakukan penegakan aturan dan kepastian hukum (Pemerintah Pusat dan Daerah), dukungan pemerintah mendorong pengelolaan hutan lestari (insentif dan disinsentif, visi dan misi pemerintah pusat dan daerah), peningkatan kesadaran hukum, dan pemahaman standar sertifikasi hutan sebagai acuan (organisasi, stakeholders)

Walhasil, penerapan RSPO berkaitan erat dengan kegiatan sertifikasi hutan lestari; hal ini agaknya dapat dijadikan referensi untuk penerapan RSPO di Indonesia. Semoga.


*) Tulisan ini telah dimuat di Harian Ekonomi NERACA (4/2/08) dan Harian Business Journal (21/2/08).


Perbandingan Skema Sistem Sertifikasi RSPO dan Sertifikasi Hutan Lestari

No

Proses Sertifikasi

Skema Sertifikasi

RSPO

LEI

FSC

1

Permohonan Sertifikasi

2

Tinjauan dokumen

3

Pre-scoping (field visit)

√ (optional)

√ (optional)

4

Keputusan kelanjutan sertifikasi

n/a

n/a

5

Reporting (Tinjauan dokumen & pre-scoping)

√ (optional)

√ (optional)

6

Pengumuman publik

7

Penilaian Lapangan

(termasuk pengumpulan bukti dari semua stakeholders)

8

Reporting Penilaian Lapangan

9

Pengambilan Keputusan

10

Penerbitan Sertifikat (berlaku 5 tahun)

11

Persyaratan Lembaga Akreditasi

ISO 17011:2004 dan anggota ISEAL

Aturan LEI dengan pertimbangan standar ISO dan manual FSC

ASI (Accreditation Services International)

ISO 17011:2004 dan anggota ISEAL

12

Persyaratan Lembaga Sertifikasi

RSPO Certification system,

ISO Guide 65:1996 dan

ISO Guide 66:1999

ISO 19011:2002

Manual LEI

Manual FSC

ISO Guide 65:1996 dan

ISO Guide 66:1999

13

Kompetensi Team Assessment


No

Proses Sertifikasi

Skema Sertifikasi

RSPO

LEI

FSC

14

Lembaga Sertifikasi dan anggotanya Bebas Konflik

15

Terdapat Mekanisme Keluhan

16

Pengendalian pernyataan