Rabu, 20 Agustus 2008
Penerapan Standar ISO 14000, Mengantarkan Perusahaan Bersaing di Pasar Global
Presdir PT Mutuagung Lestari
Ketika Teluk Minamata di Jepang tercemar akibat pembuangan limbah beracun, penduduk sekitar pun menjadi korban sia-sia. Insiden besar akibat dari pencemaran mercuri tahun 1950-an itu menewaskan 1.800 orang karena memakan hasil laut dari perairan lokal yang tercemar tersebut.
Di penghujung tahun 1984, menjelang tengah malam, sebuah tangki bahan kimia beracun pabrik pestisida Union Carbide di Bhopal, India, bocor. Segera, 40 ton kabut gas beracun methyl isocyanate (MIC) bergerak menuju wilayah padat penduduk dalam kegelapan malam. Tidak kurang dari 2.500 orang tewas, melukai 300.000 orang yang lain, bahkan membuat 15.000 orang cacat seumur hidup, dan 20.000 ternak mati. Kedua bencana inilah yang kemudian menjadi 'pemicu' lahirnya ISO 14000.
Pada tahun 1993, International Organization for Standardization (ISO) yang berkedudukan di Swiss pun membentuk Technical Committee 207/TC207 dan menerbitkan standar seri ISO 14000. Tujuannya, guna pengelolaan lingkungan yang meliputi sistem manajemen, evaluasi/audit atas sistem manajemen dan evaluasi atas kinerja lingkungan dari suatu produk. Dan, pada September 1996, sedikitnya enam standar internasional resmi diterbitkan, yaitu ISO 14001, ISO 14004, ISO 14010, ISO 14011, dan ISO 14012.
Urgensi Standardisasi
Memang, dalam dua dekade terakhir ini kerap muncul keprihatinan global terhadap dampak negatif akibat tingginya pertumbuhan agroindustri maupun industri manufaktur yang mengakibatkan tercemarnya lingkungan. Itulah sebabnya, keberadaan suatu sistem standardisasi kian dirasakan urgensinya. Hal ini pulalah yang mendorong organisasi ISO mendirikan Strategic Advisory Group on Environment (SAGE) yang bertugas meneliti kemungkinan mengembangkan sistem standar di bidang lingkungan.
Melihat upaya yang makin gencar untuk perlindungan lingkungan, semua negara sepakat terhadap pentingnya turut ambil bagian untuk melindungi dan memelihara kelestarian lingkungan hidup. Kenyataan ini menempatkan aspek lingkungan menjadi faktor yang berpengaruh dalam pola perdagangan barang dan jasa. Isue pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup dijadikan prasyarat bagi setiap negara yang ingin ikut berperan aktif dalam perdagangan dunia.
Realitanya, kini lingkungan telah menjadi bagian yang sangat penting dalam berbisnis. Terkait hal ini, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu green consumerism dan lingkungan sebagai non-tariff barrier. Green consumerism menuntut berbagai produk harus berorientasi lingkungan dan harus dibuat melalui proses yang ramah lingkungan. Di sisi lain, banyak negara, utamanya masyarakat Eropa, memasukkan faktor lingkungan ke dalam perdagangan. Dan, lingkungan menjadi non-tariff barrier. Artinya, untuk memasuki pasar dengan kedua karakteristik tersebut di atas diperlukan kaji-ulang atas kinerja lingkungan yang telah dilakukan selama ini. Pertanyaannya kemudian adalah, sudahkah persepsi kita sama dengan para green consumer atau sudahkah memenuhi persyaratan non-tariff tersebut.
Tak dapat dielakkan, pada saat ini tekanan kuat terhadap para pengusaha industri datang dari dua arah secara simultan, yaitu dari dalam dan luar negeri. Dalam situasi dan kondisi demikian, jika ingin tetap bertahan hidup, perusahaan industri dituntut meninjau kembali visi, orientasi dan kebijakan perusahaan terhadap lingkungan hidup. Tuntutan perubahan terhadap sistem manajemen lingkungan yang diterapkan harus sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Karena itu, pemanfaatan sertifikasi ISO 14000 tak hanya penting bagi perusahaan itu sendiri, melainkan juga bagi lingkungan sekitarnya. Melalui penerapan standar ISO 14001, aspek-aspek lingkungan yang berdampak terhadap lingkungan harus diidentifikasi serta dikelola. Penerapannya harus melibatkan seluruh proses, mulai dari penerimaan bahan baku hingga produk akhir, termasuk limbah yang dihasilkan, baik itu limbah cair, gas, maupun limbah padat. Artinya, penerapan sistem manajemen lingkungan ini dimaksudkan sebagai antisipasi menjaga kepercayaan pasar yang ramah lingkungan serta efek domino hubungan supplier – customer environmental management. Alhasil, industri dituntut mampu mengendalikan dan mencegah dampak lingkungan dalam setiap aktivitasnya.
Demikian pula penghematan penggunaan bahan baku dan sumber daya alam, penerapan sistem manajemen lingkungan ini juga mampu mendorong efisiensi proses-proses bisnis perusahaan, meningkatkan kepercayaan internal melalui kinerja lingkungan seperti halnya sistem manajemen mutu, yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing perusahaan dan membangun citra positif perusahaan di mata pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
Langkah ideal tersebut, sudah sepantasnya mendapatkan dukungan dari semua stake holders. Sebab, melalui langkah inilah dunia kita akan terselamatkan; bukan semata-mata mengejar keuntungan. Seluruh industri besar yang diciptakan manusia tentu akan dapat menjadi industri yang bersahabat bagi lingkungan dan umat manusia itu sendiri.
Menjadi 'Syarat Wajib'
Hasil ISO Survey 2006 menunjukkan bahwa di Indonesia, sertifikat ISO 14001:2004 yang diterbitkan tahun 2006 hanya berkisar 369 sertifikat. Hal ini menunjukkan masih sedikit perusahaan yang menerapkan sistem manajemen lingkungan bila dibandingkan dengan penerapan sistem manajemen mutu ISO 9001:2000 yang mencapai 4783 sertifikat.
Agaknya hal ini menunjukkan bahwa kepedulian dunia usaha kita terhadap lingkungan masih sangat rendah, meski manfaat yang diperoleh sangat besar.
Padahal, terlepas dari tuntutan perundang-undangan negara, persyaratan yang diminta oleh pasar global kini sangat bernuansakan kepedulian terhadap lingkungan, tak dapat dielakkan lagi. Perdagangan internasional memberikan persyaratan yang kian rumit dan lengkap terhadap isu-isu lingkungan.
Sertifikat ISO yang melegenda itu pun kini menjadi semacam "syarat wajib" untuk melakukan bisnis di Amerika, Eropa, atau pun di negara-negara lain. Beberapa industri mancanegara, di antaranya dalam bidang elektronik, telah mempersyaratkan bagi pemasoknya untuk menerapkan ISO 14001. Hal ini membuat pemasok, mau tidak mau, harus menerapkan sistem manajemen lingkungan agar produknya dapat diterima.
Sesuai tujuannya, penerapan sistem manajemen lingkungan ISO 14001 adalah untuk mendukung perlindungan lingkungan dan pencegahan pencemaran yang seimbang dengan kebutuhan sosial ekonomi. Sertifikasi ISO mensyaratkan program-program yang akan menurunkan penggunaan bahan-bahan kimia dan limbah berbahaya. Dan manajemen lingkungan itu meliputi hal-hal yang berkaitan dengan strategi dan kompetisi sehingga dapat digunakan perusahaan untuk menjamin pihak-pihak yang berkepentingan dengan produknya, baik untuk skala nasional maupun internasional.
Perusahaan yang telah menerapkan sistem manajemen lingkungan ISO 14001, akan lebih mudah menerapkan sistem manajemen lainnya yang terkait dengan lingkungan, antara lain produk ekolabel, Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) bagi perkebunan kelapa sawit, dan pabrik minyak sawit.
Dari beberapa hasil wawancara di berbagai industri yang sistem manajemen lingkungannya disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi MALECO, menyatakan bahwa adanya pengurangan yang cukup signifikan terhadap kejadian kecelakaan kerja dan keluhan dari masyarakat sekitar yang menyangkut masalah lingkungan. Di lain pihak, terjadi peningkatan dan kepedulian jajaran organisasi bagi kesehatan kerja karyawannya dengan menyediakan alat-alat perlindungan serta pencegahan tanggap darurat untuk mencegah pencemaran dan keadaan darurat. Kepedulian sosial terutama dalam hal komunikasi kepada semua pemangku kepentingan menjadi lebih baik, sehingga terjalin komunikasi yang efektif. Peningkatan pengelolaan kinerja lingkungan juga memberi dampak positif bagi stake holder mulai dari masyarakat, pemerintah, pembeli serta organisasi perusahaan itu sendiri. Demikian juga meningkatkan efisiensi dalam penggunaan sumber daya air dan energi listrik. Penggunaan mesin-mesin yang ramah lingkungan dan hemat energi, pengurangan limbah serta monitoring dan pengukuran yang terdokumentasi serta penanganan limbah yang sesuai dengan persyaratan peraturan.
Dengan penerapan sistem manajemen lingkungan, industri, melalui identifikasi dampak lingkungan dan kegiatan internal audit yang dilakukan secara periodik, dapat membuat suatu program lingkungan dengan skala prioritas dari segi signifikansi terhadap dampak lingkungan. Dari program tersebut, industri dapat melakukan pemantauan lingkungan dan melakukan evaluasi untuk mencapai peningkatan efektivitas penerapannya yang berkesinambungan.
Tak hanya itu, struktur ISO 14001 juga dapat juga membentuk pola pikir yang positif seluruh komponen organisasi dalam menyikapi masalah lingkungan. Bahkan, dapat membantu perusahaan dalam menyediakan lingkungan kerja yang layak dan sehat, sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan produktivitas pekerja, yang dapat dikonversi menjadi efisiensi waktu dan biaya.
Dengan demikian, penerapan sistem manajemen lingkungan standar ISO 14000 tidak dapat dikatakan sebagai beban bagi produsen. Standar tersebut justru merupakan kebutuhan yang akan memberikan nilai tambah bagi produsen. Sebab, dengan menerapkan standar ISO tersebut, produsen justru akan dapat menjamin kelangsungan usahanya, meningkatkan kepercayaan konsumen dan memberikan citra baik kepada produsen. Bahkan yang tak kalah penting adalah dapat meningkatkan efisiensi agar mampu bersaing di pasar global, sehingga dapat meraih keuntungan dan citra baik dari konsumen.
Sistem manajemen lingkungan, ISO 14000 merupakan perangkat kebijakan pengelolaan lingkungan terpadu yang bersifat preventif dan proaktif yang semakin menopang penerapan konsep pembangunan berkelanjutan Dari sisi nasional, penerapan yang bersifat massal akan memberikan dampak positif yang sangat luas, khususnya bagi penghematan sumber daya air dan energi, sehingga mampu meningkatkan keberlangsungan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan secara langsung, dapat berkontribusi pada program program lingkungan yang saat ini gencar dikampanyekan oleh dunia internasional. Semoga. N
Rabu, 19 Maret 2008
Jumpa Pers
Urgensi Sertifikasi Produk Sawit Indonesia *)
Oleh Arifin Lambaga
(Presiden Direktur PT Mutuagung Lestari)
Kini, perhatian dan kepedulian masyarakat dunia terhadap pentingnya setiap operasional kegiatan berwawasan lingkungan dan lestari semakin meningkat. Tak hanya dilakukan melalui Konferensi Perubahan Iklim di Bali 2007 baru lalu, melainkan juga sejak dilangsungkannya KTT Bumi di Rio de Janeiro pada 1992 silam. Salah satunya adalah perhatian terhadap kelestarian hutan terutama dikaitkan dengan perubahan iklim yang dampaknya terhadap kehidupan manusia kian nyata. Kondisi demikian, belakangan meluas dalam ruang lingkup perkebunan dan produk sawit.
Perhatian itu dibuktikan melalui pertemuan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di
Namun di Indonesia – menempati posisi kedua dunia sebagai penghasil kelapa sawit setelah
Produk berkelanjutan
Pertemuan RSPO tersebut juga membahas isu yang mengarahkan tudingan greenwash kepada para pebisnis yang dinilai lebih mementingkan efek positif pencitraan kepedulian lingkungan daripada kinerja pengelolaan lingkungan yang sesungguhnya. Industri sawit dunia pun dituding turut berkontribusi terhadap pemanasan global, menyusul tudingan sebelumnya yaitu perusakan hutan dan lingkungan.
Tantangan inilah yang kedepan seharusnya disikapi serius oleh para pelaku industri sawit di
Dan, kini saatnya para pelaku industri sawit memandang RSPO sebagai alternatif solusi dan menjadikannya sebagai sarana guna meningkatkan akuntabilitas dan transparansi. Artinya, pengelolaan sawit yang berkelanjutan harus dilakukan oleh seluruh pihak yang terkait. Penerapan praktek terbaik dalam beroperasi dengan mematuhi peraturan yang berlaku, memelihara lingkungan dan bermanfaat sosial bagi masyarakat serta menguntungkan secara ekonomis sehingga dapat memastikan keberlanjutan usahanya.
Jika diperhatikan, dasar dan kriteria cara berproduksi minyak kelapa sawit berkelanjutan (Principles and Criteria for Sustainable Palm Oil Production) meliputi komitmen pada keterbukaan, pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang berlaku, komiten pada pertumbuhan ekonomi dan finansial yang berkelanjutan, penggunaan praktek terbaik (best practices) yang sesuai oleh pekebun dan pengolah, tanggung jawab terhadap lingkungan dan konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, dan lain-lain.
Karena itu, persyaratan proses sertifikasi RSPO meliputi kompetensi team assessment, proses sertifikasi (definisi Unit Sertifikasi, aturan organisasi yang lebih dari satu unit sertifikasi, definisi ketidaksesuaian, periode sertifikasi, surveillance dan persyaratan sampling), pengumpulan bukti dari para pihak (stakeholders), dan dokumentasi yang bersifat publik (sertifikat dan ringkasan laporan sertifikasi). Termasuk juga, bebas konflik kepentingan, mekanisme keluhan (complaint) dan perselisihan, serta pengendalian pernyataan (claim).
Pada prinsipnya, terdapat kesamaan proses sertifikasi RSPO dengan proses sertifikasi hutan lestari. Sertifikasi hutan lestari yang berkembang di
Meski demikian, pelaksanaan sertifikasi hutan di Indonesia masih menghadapi kendala umum, seperti kesiapan unit manajemen hutan untuk dinilai (misal, pengelolaan biodiversity), sosialisasi standar pengelolaan hutan lestari (stakeholders), kondisi sosial dan ekonomi akibat ekonomi rendah, dan tingkat kesadaran hukum (status lahan, tata batas, hak masyarakat adat, konflik sosial). Selain juga, sistem manajemen berorientasi produksi (profit), dukungan pemerintah terhadap pelaksanaan implementasi sertifikasi kepada Unit Manajemen Hutan, pelaksanaan otonomi daerah, dan opini publik (
Solusi terhadap kondisi ini adalah perlunya dilakukan penegakan aturan dan kepastian hukum (Pemerintah Pusat dan Daerah), dukungan pemerintah mendorong pengelolaan hutan lestari (insentif dan disinsentif, visi dan misi pemerintah pusat dan daerah), peningkatan kesadaran hukum, dan pemahaman standar sertifikasi hutan sebagai acuan (organisasi, stakeholders)
Walhasil, penerapan RSPO berkaitan erat dengan kegiatan sertifikasi hutan lestari; hal ini agaknya dapat dijadikan referensi untuk penerapan RSPO di Indonesia. Semoga.
*) Tulisan ini telah dimuat di Harian Ekonomi NERACA (4/2/08) dan Harian Business Journal (21/2/08).
Perbandingan Skema Sistem Sertifikasi RSPO dan Sertifikasi Hutan Lestari
No | Proses Sertifikasi | Skema Sertifikasi | ||
RSPO | LEI | FSC | ||
1 | Permohonan Sertifikasi | √ | √ | √ |
2 | Tinjauan dokumen | √ | √ | √ |
3 | Pre-scoping (field visit) | √ (optional) | √ | √ (optional) |
4 | Keputusan kelanjutan sertifikasi | n/a | √ | n/a |
5 | Reporting (Tinjauan dokumen & pre-scoping) | √ (optional) | √ | √ (optional) |
6 | Pengumuman publik | √ | √ | √ |
7 | Penilaian Lapangan (termasuk pengumpulan bukti dari semua stakeholders) | √ | √ | √ |
8 | Reporting Penilaian Lapangan | √ | √ | √ |
9 | Pengambilan Keputusan | √ | √ | √ |
10 | Penerbitan Sertifikat (berlaku 5 tahun) | √ | √ | √ |
11 | Persyaratan Lembaga Akreditasi | ISO 17011:2004 dan anggota ISEAL | Aturan LEI dengan pertimbangan standar ISO dan manual FSC | ASI (Accreditation Services International) ISO 17011:2004 dan anggota ISEAL
|
12 | Persyaratan Lembaga Sertifikasi | RSPO Certification system, ISO Guide 65:1996 dan ISO Guide 66:1999 ISO 19011:2002 | Manual LEI | Manual FSC ISO Guide 65:1996 dan ISO Guide 66:1999 |
13 | Kompetensi Team Assessment | √ | √ | √ |
No | Proses Sertifikasi | Skema Sertifikasi | ||
RSPO | LEI | FSC | ||
14 | Lembaga Sertifikasi dan anggotanya Bebas Konflik | √ | √ | √ |
15 | Terdapat Mekanisme Keluhan | √ | √ | √ |
16 | Pengendalian pernyataan | √ | √ | √ |